Aku terbangun ketika Hp disebelahku terus mengaung-ngaung.
Dengan malas kuambil benda kecil ini. Mata yang masih setengah watt
kupaksakan untuk mengamati. Beberapa SMS baru berjubel disana. Aku kuakkan satu persatu dengan lesu. Ada satu pesan yang sedikit menyentil Hatiku.
Penglihatanku kusetir menuju jam yang tergantung di dinding. Betapa kagetnya aku saat itu. Sudah Pukul 09:45. Kembali ku baca SMS tadi. Bak dikejar angin tornado, aku segera berlari sekencang-kencangnya. Kulemparkan Hp-ku begitu saja.
Begitu
sampai di ambang pintu, mataku segera bergerak lincah kesana-kemari.
Tak lama, sudah kutemukan apa yang kucari. Handuk hijau yang terbaring
di atas jemuran kawat segera aku sambar. Dan sekali lagi aku
menganyunkan langkahku secepat kilat menuju kamar mandi.
Sebuah pesan dari manager-ku
di nasyid, telah mengusik semua kenikmatanku. Hari minggu yang biasa ku
gunakan untuk menonton kartun, bermalas-malasan, dan menulis novel
harus berganti dengan berlari-lari tak jelas dalam rumah. Minggu ini,
sekali lagi aku mendapat kesempatan untuk mengisi sebuah acara islam di
Hotel Pandanaran. Dan yang membuat sebuah badai bak datang kerumahku,
adalah aku harus tiba di tempat itu jam 11:00.
Aku keluar
dari kamar mandi dengan wajah sumringah. Badanku terasa begitu segar,
rasa kantukpun sudah tak hinggap lagi di tubuh. Kembali kuamati jam yang
tergantung di dinding ruang tamu, Pukul 10.30. “tinggal setengah jam
lagi.” Ucapku. Segera kupercepat langkahku menuju kamar. Mengganti
pakaian, mengambil kostum, membenamkannya ke dalam tas, menata rambutku
yang agak ikal, dan sedikit bergaya di depan cermin. 10 menit harus
kukorbankan untuk semua hal ini.
Segera aku hidupkan
tungganganku. Sengaja kubiarkan ia terus menyala untuk mengaktifkan
semua komponen yang semalam asyik terlelap. Begitu suaranya terdengar
enak, segera aku tunggangi motor ini. Tak lupa aku berpamitan dengan
ayahku yang sedang bersantai di teras, Kukecup tangannya dan kuminta
do’a restunya. “mau tampil di hotel Pandanaran.” Ucapku singkat sebelum
ayahku sempat bertanya. Kulakukan hal yang sama pada ibuku yang tengah
asyik berbincang dengan tetangga di depan rumah.
Menulusuri
kampungku yang tampak begitu lengang ini, membuat hatiku begitu perih.
Aku jadi teringat masa kecilku dulu. Dimana kampungku selalu tampak
riuh. Aku dan teman-temanku, tak peduli pagi, siang, ataupun malam, bisa
bermain tanpa kenal lelah. Mulai dari gobrak sodor, betengang, petak
umpet, tekongan, bahkan hanya sebatas kejar-kejaran. Mungkin anak-anak
sekarang sudah bosan dengan permainan itu. Mereka cenderung lebih asyik
bermain game di dalam rumah. Karena itu terkadang aku juga kesal dengan
permainan modern ini.
Perjalananku mulai terhambat ketika
memasuki kawasan Fatmawati. Tepat di depan swalayan ADA, aku harus
bersusah payah mengendalikan motorku. Mobil, motor, bahkan bus tumpah
ruah di jalan yang sempit ini. Belum lagi beberapa kendaraan yang ingin
menuju swalayan ini, membuat kemacetan semakin menjadi-jadi. Setelah
berjuang keras, akhirnya aku bisa keluar dari suasana ini.
Memasuki
jalan Majapahit situasi kembali lengang. Aku manfaatkan kesempatan ini
sebaik-baiknya. Aku Pacu Red Dragon, julukan motorku dengan kencang.
Sepanjang perjalanan, sang surya tak henti-hentinya menyerangku.
Menembakkan sinarnya yang panas ke seluruh tubuh. Bahkan jaket yang
kukenakan tak sanggup membendung serangan ini. Justru ia seperti bekerja
sama dengan matahari, membuat tubuhku semakin kegerahan. Angin pun
tampaknya bingung harus memihak ke siapa. Ia terkadang meniupkan hawa
segar pada diriku, namun ia pun dengan sengaja melemparkan debu dan
butiran pasir ke wajahku. Untung saja aku memakai pelindung, kalau tidak
mataku pasti sudah kerepotan melawan serangan ini.
Sampai
di daerah pandanaran, kukumpulkan konsentrasiku. Sembari mengendalikan
kendaraan, aku amati wilayah kananku. Mataku terus memburu
kesana-kemari, bak seekor singa yang sedang mengamati mangsanya.
Sesekali kuarahkan pandanganku lagi kedepan. Berjaga-jaga agar tak
menabrak kendaraan lain. Setelah melewati Traffic light, ketemu juga tempat yang kucari-cari. Tepat seperti kata kakak Iparku, di kanan jalan.
Sekarang
di depan mataku terhampar Bangunan yang tinggi dan mewah. Begitu sampai
disini, aku malah bingung sendiri harus berbuat apa. Ingin masuk, tapi
tak tahu acaranya di lantai berapa. Kalau tak masuk, lama-lama kulitku
akan matang terpanggang sinar matahari. Kuputuskan untuk menghubungi
salah satu temanku, Irfan.
Jariku segera menari ligat di
atas tuts. Menekan dengan cepat nomor milik temanku. Tut. Tut. Tut.
Bunyi halus dari nada tunggu ini mengalun lembut di telingaku. Semenit
kemudian suara Irfan terdengar disana. Aku segera menanyakan semua
informasi yang kubutuhkan. Namun suara desau angin begitu mengganggu
pembicaraan ini. Aku tak bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan
oleh Irfan. Karena kesal, kumatikan telepon ini.
Kembali aku menjadi patung selamat datang untuk hotel ini. Duduk berdiam diatas motorku sambil menatap tak jelas ke jalan raya. Hp-ku kembali bergetar. Secepat kilat aku gapai si kecil ini. Dan kubaca dengan begitu tak sabar. Sebuah SMS dari Irfan.
“Aku di Lobby hotel.”
Seutas
senyum kembali terbit di wajahku setelah membaca pesan ini. Segera
kujalankan Red Dragon menuju tempat parkir. Tak butuh waktu lama bagiku
untuk menjangkau tempat ini. Begitu memastikan motorku aman, aku ayunkan
kakiku perlahan menuju lobby hotel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ramada, Iie', Sieben, De Cis, Faza, Awan, N'Fe, Nada, Mahiba, Syahdu, Alief, Majesty, Naufal, I~Five, Trio Baik Hati, Redi. We are ANN Jateng...
Posting komentarmu di bawah ini...^^