Vol. 2: Jangan Ada Permusuhan (Awan)
(Kisah Divisi Diklat : Alief, Firto, Kiki, Hans, dan Cici)
Oktober abu-abu. Ruang latihan ANN Jateng yang ber AC tak mampu mengusir kobaran panas di hati Alief. Berantem lagi, kelu hatinya mengeluh. Sudah beberapa hari ini, pemuda bertubuh kutilang (kurus-tinggi-langsing ^^) itu berselisih pendapat dengan Firto. Ide briliannya untuk pengembangan tim-tim ANN ditolak setengah matang oleh Firto. Pemuda itu malah menawarkan konsep yang 110% berbeda dengannya. Kesal ia. Jreng! Alief mulai memetik senar-senar gitar. Sebuah gita, yang lebih mirip lagu protes sosial, ia dendangkan.
(Kisah Divisi Diklat : Alief, Firto, Kiki, Hans, dan Cici)
Oktober abu-abu. Ruang latihan ANN Jateng yang ber AC tak mampu mengusir kobaran panas di hati Alief. Berantem lagi, kelu hatinya mengeluh. Sudah beberapa hari ini, pemuda bertubuh kutilang (kurus-tinggi-langsing ^^) itu berselisih pendapat dengan Firto. Ide briliannya untuk pengembangan tim-tim ANN ditolak setengah matang oleh Firto. Pemuda itu malah menawarkan konsep yang 110% berbeda dengannya. Kesal ia. Jreng! Alief mulai memetik senar-senar gitar. Sebuah gita, yang lebih mirip lagu protes sosial, ia dendangkan.
“Buktikanlah....buktikanlah....” Alief bernyanyi dengan keras. Tak peduli jika suara tenornya menembus sampai ke ruang kostum, tempat Firto sedang menyiapkan kostum tim. Firto yang mendengar lagu itu tampak sedikit keki. Lagu yang sebenarnya diciptakan Alief buat soundtrack sebuah film itu, terasa memanah ke arahnya. Aku akan buktikan. Emangnya Alief aja yang bisa melejitkan tim-tim ANN, batin Firto. Marah mulai berekspansi di hati merah tua Firto, meskipun hati kecil Firto sangat menghindari konflik. Kesal juga ia. Sudah berkali-kali pendapat mereka berbeda dan berakhir pada situasi yang tidak enak.
“Wa’alaikumsalam. Eh Kiki dateng. Mau melatih Sieben ya?” Tanya Firto. Pemuda berambut ikal, yang ternyata Kiki Diklat, mengangguk. Kiki tampak memasang telinganya baik-baik.
“Mas Alief bikin lagu baru ya?“
“Iya. Keren ya?” balas Firto. Kiki mengangguk
“Diklat gimana kabarnya, Mas?” tanya Kiki.
“Gak tau deh Ki. Kayaknya aku beda pendapat lagi sama Papi,” kata Firto seraya menyebutkan gelar kesayangan Alief.
“Punya ide gak buat Diklat?” Firto bertanya balik
“Wah, aku ngikut aja Mas,” jawab Kiki. Firto membalas dengan senyum gazebo (gak jelas bo’) maknanya. Duh gimana nih? Kiki udah bilang ngikut, Hans dan Cici pasti jawab ngikut juga. Mereka kan tipe staf setia, batin Firto menduga-duga. Otaknya tiba-tiba mampet. Bingung mau menyelesaikan permasalahan Diklat, yang menurutnya cukup pelik. Angannya kembali ke masa lalu, mencoba mencari benang merah persoalan kemarin.
“Pokoknya tim nasyid percaya deh sama saya. Ibarat mereka kanvas, maka biarkan saya berkreasi membuat lukisan.
“Tapi....”
“Saya belum tahu jadinya lukisan itu seperti apa, tapi saya yakin dengan kemampuan yang saya punya, lukisan itu akan bagus.”
“Tapi, Pi. Kalo kayak gitu, jatuhnya absurd. Padahal sebagai Diklat, sedari sekarang kita harus punya konsep plan buat tim tersebut. Setelah itu, kita buat plan action yang berorientasi pada timebound,” bahasa manajemen ala Firto mulai keluar. Alief terdiam. Suasana menjadi tidak enak.
“Yaa, mungkin kita beda gaya ngelukis aja sih. Papi pelukis abstrak, saya pelukis tipe apa gitu...,” ujar Firto mencoba menurunkan tensi diskusi.
Hening. Kalo ada jangkrik disitu, pasti bunyi krik-krik-kriknya kedengaran. Jika sudah seperti ini, pasti dua insan Diklat ini sudah tak bertemu titik tengah. Sama-sama berbakat, tapi sama-sama keras. Bedanya, Alief mahir dalam kemampuan bermusik, tapi lemah di manajemen. Sedangkan Firto sebaliknya.
“Mas cari makan diluar dulu yuk,” ajakan Kiki memecahkan lamunan Firto.
“Nanti Ki, masih mau ngobrol sama Mas Alief,”
“Ya udah. Duluan ya. Assalamualikum,”
Dari ruang studio latihan, gitar Alief masih meraung-raung. Suara Alief pun masih powerfull. Dia sangat bersemangat mengejar setoran lagu barunya.
“Pi, proyek album romantic nasheednya masih jalan kan?” tiba wajah oriental Firto nongol di studio
“Masih,” jawab Alief datar.
“Aku punya lagu lho, spesial buat album Papi,”
“Oh, iya tho?”
“Cinta....Ce I En Te A. Akan terasa indah saat dia Pe U Te I Ha,” Firto mencoba menyayikan lagu cinta, yang menurut dia romantis (tapi gak ada romantis-romantisnya sama sekali. Lucu sih iya).
“Lagu TK mana nih Fir? Kok ada acara mengeja huruf segala,” tanya Alief seraya menahan tawa.
Krik krik krik. Firto berhenti mendadak. Kemudian mulutnya monyong lima senti. Pura-pura cemberut. Alief pun tak sanggup menahan tawanya. Sampai disini suasana gencatan senjata mulai terlihat. Alief dan Firto akrab kembali
* * *
Kantor ANN Jateng, seperti biasa, rame kayak pasar. Hans sedang melatih tim Mahiba di ruang studio. Sesekali terdengar Hans memencet-mencet tuts piano dengan gemas, mencoba membenarkan nada-nada yang salah. Diruang C.E.O, yang berdekatan dengan ruang, studio terlihat Firto dan Aris mengobrol santai.
“Eh aku kemaren liat kamu ngobrol sama Alief lho,” Aris memulai ajang rumpi
“Oh yang distudio itu ya?”
“Yup. Aku penasaran pengen tahu, yang kalian obrolin apa sih? Kok kayaknya seru banget?”
“Ada deh.”
“Ayolah...kasih tahu,”
Firto terdiam sesaat. Mata celingukan, memeriksa keadaan. Disibaknya tirai di samping ruang C.E.O. He he aman. Gak ada Alief, batin Firto.
“Gini Pak, aku udah nemu cara meluluhkan Alief,”
“Gimana caranya?”
“Caranya? Dengan kelembutan dan kasih sayang,” jawab Firto dengan ekspresi teater nan lebai. Seketika tawa keduanya meledak. Tapi ekspresi tawa itu hanya sebentar. Lima detik kemudian Alief terlihat melewati ruang C.E.O. Buru-buru Aris menutup mulutnya. Alamak, firasatku jadi gak enak ni, batin Firto.
“Eh, Papi. Kok ada di kantor? Emang tadi dimana ?
“Yup ada di kantor. Tadi di ruang istirahat, di belakang ruang C.E.O,” Jawaban Alief terasa bagai halilintar di siang koyak (biasanya kan siang bolong). Mengejutkan Firto, sampai mata sipitnya melebar dua senti. Ya ampun, gawat! Papi denger gak ya? Batin Firto. Dilihatnya Alief tersenyum menakutkan, kemudian buru-buru ke ruang kostum.
Di ruang kostum, Alief asyik menyemprotkan parfum di tubuhnya. Tak dipedulikannya reaksi Aris dan Firto yang tadi mati gaya. Sebel ia. Ingin sekali lisannya berkata, “Tadi aku denger lho Fir yang kalian bicarakan,”
* * *
Firto menyedot habis lemon squash sampai tak tersisa. Perkataan Aris tadi siang masih menari-nari di kepalanya.
“Kalian kenapa sih gak akur aja? Alief punya konsep hebat. Kamu juga punya konsep hebat. Kenapa gak dijembatani dengan komunikasi. Alief berarti egois....” nasihat Aris serasa terpotong.
“Kamu juga egois, Phie,” pelan tapi dalam Aris berkata. Psikolog itu sengaja menyapa Firto dengan panggilan akrab Phie, untuk menurunkan tekanan pembicaraan.
“Iya Pak, aku kayaknya jahat ya sama Alief. Jadi merasa berdosa niy,”
Bayangan perkataan itu kian jelas tergambar. Ah, aku harus segera minta maaf sama Alief, batin Firto. Buru-buru ia pergi ke kantor. Sampai disana, dia melihat Alief sedang tertidur pulas di ruang perpustakaan. Pulas sekali, sampai tak sadar jika televisi yang masih hidup asyik menonton adegan tidurnya. Buku-buku disana pun terdiam, tak berani mengganggu tidur Alief (maksudnya?).
Ah, papi pasti capek banget, habis ngelatih banyak tim. Belum lagi disibukkan dengan proyek pribadinya.
“Maafin aku ya Pi,” lirih Firto berkata. Diselimutinya tubuh Alief dengan jaket, yang tergeletak disamping Alief. Tak berapa lama Firto meninggalkan Alief. Mata Alief segera membuka. Maafin aku juga ya, Fir, batin Alief berkata. Jangan ada permusuhan diantara kita ya ^^
NB : Paling sering berantem ide, tapi paling dekat dan akrab. Itulah Alief dan Firto. Untung Dvisi Diklat ditopang oleh Kiki Awan, Hans Syahdu, dan Cici sebagai peredam. Divisi ini telah menyumbangkan puluhan prestasi buat ANN Jateng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ramada, Iie', Sieben, De Cis, Faza, Awan, N'Fe, Nada, Mahiba, Syahdu, Alief, Majesty, Naufal, I~Five, Trio Baik Hati, Redi. We are ANN Jateng...
Posting komentarmu di bawah ini...^^