Chicken Soup-nya ANN Jateng Edisi 2 "The Miracle of Love and Pray"
Volume 3: Nenek, Sajadah Panjang, dan Kaca-kaca
Kudus. Tanah itu kupijak untuk pertama kalinya. Kali ini, kubawa tim Naufal ke kota jenang (dodol) itu. Kan kujadikan suara indah mereka sebagai oleh-oleh sebuah resepsi pernikahan di ranah hijau itu.
Sejenak pesona Kudus membiusku, sebelum tempat resepsi menyambut ramah. Pemilik hajat sudah menyuguhkan senyum di awal kehadiran kami. Ah, senangnya!.Apalagi rangkaian stand makanan gencar menggoda dengan varian sajiannya. Soto kerbau agaknya menjadi kandidat favorit dari penggoda-pengooda itu. Tak tahan lidah beraksi. Wah wah kenapa topik makanan begitu banyak porsinya di chicken soup ini? Entahlah. Sepertinya aku harus mulai fitnes lagi, agar tak mudah tergoda makanan. Setidaknya menghambat laju menggelembungnya perutku.
Detik demi detik mulai menguap. Naufal mulai beraksi di kalangan tak melek nasyid. Alunan saxophone menyebar megah, ciptakan pukau di beberapa telinga. Sesekali kolaborasinya dengan keyboard memunculkan melodi indah. Hm, so far so good. Apalagi duo vocal, Alief dan Aris, berusaha membawakan lagu-lagu yang populer bagi tamu undangan.
Rasanya sukses besar akan dicapkan pada penampilan kali ini. Request lagu dari mempelai telah pula didendangkan, tanda acara akan usai. Sebagai manager, aku lega. Akhirnya bisa mencari tempat melepas lelah sejenak. Duduk di sebuah tempat, yang jauh dari panggung, sepertinya pilihan bagus untuk aksi itu. Tiba-tiba sebuah suara khas 60 tahun ke atas menggema di atas panggung. Bergegas aku menuju ke panggung.
Kudus. Tanah itu kupijak untuk pertama kalinya. Kali ini, kubawa tim Naufal ke kota jenang (dodol) itu. Kan kujadikan suara indah mereka sebagai oleh-oleh sebuah resepsi pernikahan di ranah hijau itu.
Sejenak pesona Kudus membiusku, sebelum tempat resepsi menyambut ramah. Pemilik hajat sudah menyuguhkan senyum di awal kehadiran kami. Ah, senangnya!.Apalagi rangkaian stand makanan gencar menggoda dengan varian sajiannya. Soto kerbau agaknya menjadi kandidat favorit dari penggoda-pengooda itu. Tak tahan lidah beraksi. Wah wah kenapa topik makanan begitu banyak porsinya di chicken soup ini? Entahlah. Sepertinya aku harus mulai fitnes lagi, agar tak mudah tergoda makanan. Setidaknya menghambat laju menggelembungnya perutku.
Detik demi detik mulai menguap. Naufal mulai beraksi di kalangan tak melek nasyid. Alunan saxophone menyebar megah, ciptakan pukau di beberapa telinga. Sesekali kolaborasinya dengan keyboard memunculkan melodi indah. Hm, so far so good. Apalagi duo vocal, Alief dan Aris, berusaha membawakan lagu-lagu yang populer bagi tamu undangan.
Rasanya sukses besar akan dicapkan pada penampilan kali ini. Request lagu dari mempelai telah pula didendangkan, tanda acara akan usai. Sebagai manager, aku lega. Akhirnya bisa mencari tempat melepas lelah sejenak. Duduk di sebuah tempat, yang jauh dari panggung, sepertinya pilihan bagus untuk aksi itu. Tiba-tiba sebuah suara khas 60 tahun ke atas menggema di atas panggung. Bergegas aku menuju ke panggung.
“Bapak Ibu, saya akan mempersembahkan lagu buat mempelai. Mohon maaf ya kalo jelek. Maklum, sudah tua,” kata seorang nenek terlisan di atas panggung. Oh no! Adrenalinku meningkat. Terasa sulit hatiku memerangi gerilya su’uzhon yang kian gencar berekspansi. Bukan apa-apa, kadang sang pemilik hajat malah komplain gara-gara nyanyian para tamu, yang menurut mereka falseto-nya ketinggalan ‘eto’. Padahal, Tiada hak kita melarang, kecuali ada permintaan pemilik tamu.
“Ada sajadah panjang terbentang, dari kaki buaian. Sampai ke tepi kuburan hamba. Kuburan hamba bila mati,” sang nenek memulai lagu syahdu milik Bimbo. Hening. Tiada muncul fals dari nenek itu.
Sejenak aku terpana. Demikian pula Alief ‘Maharku Untukmu’, yang tiada menduga partner duonya kali ini bisa bernyanyi bagus. Seorang wanita, yang sudah melalui masa mudanya selama sekitar tiga puluh tahunan itu, mulai melarutkan haru.
“Begitu terdengar suara azan....kembali tersungkur hamba....mengingat Dikau sepenuhnya,” sang nenek kembali menyanyikan lagu itu. Kaca-kaca itu tampak jelas dari mata sang nenek. Mematung aku memandangnya. Entah apakah sebelumnya nenek itu seorang munsyid atau bukan (sehingga bisa belajar dramaturgi atau vokalisi), tetapi aku tahu dia menyanyi dari hati.
Lagu sajadah panjang itu masih kurang sedikit. Tapi pesan lagu itu sudah mulai mencabik-cabik hatiku. Jadi teringat betapa seringnya aku berpetualang saat sholat. Aku bisa berada di Jerman, di studio rekaman, di dapur, meski ragaku melakukan gerakan-gerakan amalan wajib itu. Kata khusyuk sering tak terpakai dalam sholatku.
Nenek itu masih berkaca-kaca meski lagu sajadah panjang telah usai. Senyum menyejukkan dia suguhkan, sebagai menu penutup dari suasana haru yang ia berikan. Sempat dia mengulang permintaan maaf, jika suaranya jelek, meskipun nyanyian itu teramat indah dia dendangkan. Bersamaku dan Alief, sedikit gemetar (bawaan tua) dia melangkah, menuruni satu demi satu tangga panggung. Aku jadi terharu (lagi). Tiba-tiba aku merindukan waktu sholat, berharap khusyuk legowo mampir ke dalam ruhku.
NB : Pesan sholat dari seorang nenek lewat lagu sajadah panjang begitu membekas padaku. Semoga amal jariyah mengalir padamu. Semoga nenekku juga, yang sudah memenuhi panggilan-Nya, tenang dalam kuburnya. Lagu ‘Sebelum Dia Pulang’, yang kuciptakan untuk sang nenek, tidak akan cukup membalas kasihnya. Tetapi, lagu itu mengingatkanku dan orang-orang (I hope) untuk mengiringi kebersamaan kita dan nenek dengan untaian doa, baik semasa hidup maupun semasa wafatnya. Kata orang: “Seringkali nenek lebih sayang cucunya ketimbang anaknya ^_^ ”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ramada, Iie', Sieben, De Cis, Faza, Awan, N'Fe, Nada, Mahiba, Syahdu, Alief, Majesty, Naufal, I~Five, Trio Baik Hati, Redi. We are ANN Jateng...
Posting komentarmu di bawah ini...^^