Kamis, 27 Januari 2011

CS 5/3: Surat dari Mama yang Tak Romantis

Chicken Soup-nya ANN Jateng Edisi 5 “Aku (Munsyid) dan Ortuku”
Volume 3 : Surat dari Mama yang tak romantis (Kisah Firto, Ketua ANN Jateng)

Aku adalah anak pertama dari lima bersaudara. Hasil blasteran keluarga berdarah militer dan keluarga petani. Mamaku adalah seorang guru yang tegas dan (menurutku) senang bercerita dan mengkritik. Papaku seorang penyuluh pemerintahan yang ulet dan (juga) senang bercerita. Tak heran jika diriku menjelma sebagai pendongeng yang suka terang-terangan mengkritik.

Walaupun senang bercerita, yang membuatku heri alias heran sendiri, Mama bukanlah sosok yang romantis. Kadang ketika mengajarkan sesuatu yang baik, omelannya malah lebih menusuk ketimbang pesannya. Tidak ada bujuk halus, pelukan atau ciuman dalam nasihatnya.

Saat seusia SD, aku sudah diajarkan mencuci baju, mencuci piring, menyetrika, menyiram tanaman, bahkan menjual kue. Aku tak terima. Tapi, ketidakterimaanku malah membuat Mama kesal. Jangan harap ada sosok protogonis Ibu di sinetron, yang ketika anaknya ngambek, Si Ibu akan lemah lembut menasihati. Makin keras aku menangis, makin keras pula Beliau bersikap.

Sejak SD, aku selalu langganan juara. Biasanya, juara kelas dibelikan mainan-mainan anak kecil. Tapi, aku hanya diajak makan malam di luar atau dibuatkan nasi uduk. Aku sebenarnya tak protes. Walaupun aku sangat ingin punya Nintendo (sejenis PS jaman dulu) atau mainan lain. Sebagai alternatif, kadang aku bermain di sungai atau menangkap ikan di selokan tengah kota, Saat itu Mama marah besar. Aku tak tahu mengapa. Dia tidak bisa menjelaskan kenapa itu tidak boleh dengan romantis. Yang aku tahu, dia hanya marah, marah, dan marah. Padahal, jika sekarang aku membayangkan diriku sendiri yang bermain di selokan kotor, aku jadi jijai sendiri.

Hal itu berlanjut sampai aku SMA dan mengenal Rohis, yang katanya penuh dengan aktivis dakwah. Di benakku, Mama adalah target dakwah yang harus diperbaiki, biar gak marah-marah terus. Hampir di setiap dinding rumah, aku tempeli surat-surat Al Qur’an. Bahkan, di meja rias Mama, tempelan itu tertancap rapat. Harapannya Mama bisa berjilbab, mengaji, dan menjadi Ibu-ibu Soleha gitu loh. Mama marah besar. Aku juga sama, ikut-ikutan marah dan menyalahkan Mama. Mama melepas tempelan-tempelan itu. Aku menempel lebih banyak lagi. Sama-sama keras, konflik tercipta.

Sampai ketika aku kuliah, ternyata keromantisan-keromantisan Mama, yang beliau tutupi itu terbongkar. Aku menangis, manakala mengetahui sejak lama Mama mati-matian menabung dan mencari pinjaman demi biaya kuliahku kelak. Aku ingat, demi menambah kepulan asap dapur, Mama rela bangun jam tiga pagi. Ia membuat empek-empek untuk dijual ke siswa sekolah-sekolah. Kadang ia mengreditkan baju-baju ke para tetangga. Jelang akhir bulan, Mama sering mendesak Papa segera mengirim uang untukku.

Bahkan, sampai usiaku kepala dua, dia masih mempertahankan tradisi anak kecil, yaitu baju baru lebaran. Seringkali ia mengirim uang untuk beli baju saat lebaran. Dan setelah sekian lama, wanita itu akhirnya mengirimkan sesuatu yang romantis. Sebuah surat, yang masih kusimpan saat ini. Dalam surat itu Mama menunjukkan keromantisannya, ungkapan sayang dan bangganya terhadapku.

Apa yang beliau tanam sejak kecil, baru terasa buahnya saat ini. Aku bangga manakala bisa mencuci, menyetrika, memasak, mengurus tanaman, yang kelak bisa menjadi awal bisnis tanaman dan rumah makanku (Amin). Aku juga bangga dengan cerewetku, yang ternyata sangat berguna ketika aku menjadi MC dan manajemen. Dan aku lebih bangga lagi dengan orang yang mewariskan itu padaku. Kalau mau cari jeleknya, mungkin ada seribu kejelekan Mama. Tapi seribu itu tidak ada apa-apa dengan bermilyar kebaikan, yang membuatnya menjadi Mama terbaik untukku.

Epilog: Pada akhirnya Mama berjilbab dan semakin rajin beribadah. Tapi, bukan karena kekerasanku, tapi karena cinta-Nya. Dia tetap menjadi sosok yang tegas, yang dulu kuartikan keras (yang kini penyalahartian itu malah kerap menimpaku melalui munsyid-munsyid binaan). Namun, kini aku tahu bahwa keras dan tegas itu tidaklah sama. Tegas tentu karena sayang.

Chicken Soup selanjutnya Edisi 5 Volume 4 : Ayahku My Hero-ku (Kisah Bahtera Mahiba, GM Media ANN Jateng)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ramada, Iie', Sieben, De Cis, Faza, Awan, N'Fe, Nada, Mahiba, Syahdu, Alief, Majesty, Naufal, I~Five, Trio Baik Hati, Redi. We are ANN Jateng...

Posting komentarmu di bawah ini...^^